Prof Dr Boer Mauna (Mantan Diplomat)::
Minggu, 27/12/2009 12:29 WIB
Lahir sebagai Putra Minang, membuat Prof Dr Boer Mauna menyayangkan kurangnya penduduk daerah asalinya menggeluti dunia diplomasi. ”Padahal, dulu, tak habis-habisnya, diplomat lahir dari rahim negeri ini,” katanya. Sekedar menyebut nama, Hatta, Syahrir, Agussalim, dll, merupakan negosiator ulung di zamannya. Indikator yang dipakai Boer dalam melihat ini ada dua.Pertama, dari 87 kadubes yang ada di berbagai negara cuma tiga yang menjadi kadubes yaitu di Banglades, Senegal dan Afrika Selatan. Kemudian, penerimaan pegawai yang dilakukan departemen luar negeri hanya meluluskan satu-dua, kalau lagi tahun baik, paling banyak tiga putra Minang dari Perguruan Tinggi Sumatra Barat yang bisa lulus seleksi. ”Ini menyedihkan,” katanya.
Ia menekan mahasiswa perguruan Sumatra Barat. Karena banyak pegawai deplu yang berayah-ibu Minang tapi tidak besar di ranah Minang. Dino Pattidjalal salah satunya. Ia melihat, faktor besar di Minang ikut memberi nuansa dan sense dalam melakukan diplomasi. ”Cara orang Minang dan Jawa melakukan diplomasi beda,” katanya.
Padahal, jurusan internasional sudah ada. Namun, belum mampu bersaing dengan daerah lain. UI, UGM dan Unpad tetap menguasai peringkat teratas dalam meloloskan mahasiswanya ke deplu. Ia merujuk beberapa hal yang menyebabkannya. Pertama, banyak calon pelamar dari Sumatra Barat tidak mnguasai bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional, dengan baik.
”Kalau masuk angin dibahasainggriskan menjadi enter in the wind, kan, kacau,” katanya tergelak-gelak sembari menganalogikan tingkat bahasa asing yang dikuasai mahasiswa di sini. Di Jawa, katanya, beberapa mata kuliah diajarkan dengan bahasa asing.
Kemudian, pelatihan-pelatihan terhadap diplomat juga minim. Pelatihan-pelatihan mesti diperbanyak karena beberapa teori diplomat tidak bisa ditemukan di lapangan. Diikuti oleh lemahnya penguasaan terhadap subtansi. Ia melihat kurikulum sekarang masih kurikulum zaman dulu. ”Masih sejarah eropa timur, sejarah timur tengah. Asik dengan segala yang berbau internasional,” katanya.
Ia bukan tak suka. Pelajaran itu juga penting. Tapi, menurutnya penyusunan kurikulum juga berlandaskan dinamika nasional, regional dan global. Siap tak siap, katanya, Indonesia mesti siap menghadapi globalisasi pasar. APEC, pasar bebas 2020 akan menghadang. ”Semestinya mata pelajaran juga disusun berdasarkan kondisi yang ada. Kita harus menyiapkannya dari sekarang. Kita harus mendahului masa depan,” katanya.
Diplomasi bagi semua kalangan
Tiga setengah dasawarsa bergelut dengan diplomasi, memberi inspirasi pada Prof Dr Boer Mauna bagaimana menciptakan diplomasi di segala bidang. Boer beranggapan bahwa diplomasi tidak mutlak milik Pemerintah atau departemen Luar Negeri (deplu) saja.
”Semua komponen bangsa, bisa melakukan diplomasi,” katanya. Dalam era kemanunggalan pasar ini, ia berpikir bagaimana pengusaha bengkel di Padang bisa berkomunikasi dengan pengusaha bengkel yang ada di Singapura.
Ia sudah menyiapkan silabus. Membicarakannya di berbagai seminar. Perguruan Tinggi pertama yang mengajaknya bekerja sama dengannya adalah Univeristas Slamet Riyadi (USR), Solo. Kenapa? ”Itu soal jodoh. Kalau keinginan hati, jangan ditanya. Ingin mendirikannya di Sumatra Barat lebih dulu. Namun, langkah ke sana sudah ada,” katanya. Saat ini ia menyiapkan tiga pulau menjadi tempat sekolah diplomat kabupaten ini. di Sumatera dengan pusat Sumatra Barat, di Pulau Jawa dengan pusat Solo, dan Sulawesi yang berpusat di Makassar.
Ide itu ditemukannya ketika membaca dua Undang-Undang (UU), UU No 37 tahun 1999 mengenai hubungan Luar Negeri dan UU No 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. ”Entah kenapa, semua orang seperti tertidur dan tidak mengaplikasikan kebijakan ini,” katanya.
Intinya, dimungkinkannya pengembangan foreign service desk (seksi pelayanan luar negeri) ada di setiap Kabupaten. Ketika berkunjung ke Vietnam, semua daerah tingkat II di sana sudah punya pelayanan luar negeri. Kebijakan hubungan daerah tingkat II hanya dibatasi oleh politik luar negeri. Sebab, kalau 560 daerah melakukan politik luar negeri maka akan ada 560 RI. ”Kalau selebihnya boleh. Saya udah baca UU-nya, bagian pertanian, perkebunan, pariwisata, boleh berhubungan langsung dengan investor luar negeri,” jelasnya.
Inilah jawaban terhadap pertanyaan investor luar negeri ketika akan menanamkan investasi ke Indonesia, dengan siapa saya harus bicara? Kedua UU itu memberi kewenangan pada pemerintah lokal untuk bernegoisasi dengan pihak luar negeri.
Usaha itu dirintisnya dari nol. Dimulai dengan membicarakan dengan orang-orang terdekat sampai kepada Kadubes (Kepala Duta Besar) negara tetangga dan sahabat yang kebanyakan menjadi sahabatnya. Tak lelah ia memberikan seminar di seluruh penjuru Indonesia. Berbagai perguruan tinggi dikunjunginya. Disebarkannya diplomat kabupaten ini agar bisa memajukan bangsa ini.
Sambutan dari pendengarnya luar biasa. Komentar yang datang dari koleganya kebanyakan mendukung ide tersebut.
Bantuan mulai mengalir. Kedekatannya dengan kadubes Belanda, Nicholas Van Damm berbuah manis. Belanda mau mengucurkan dana untuk membantu program itu dua tahun.
Lahannya ditemukan di USR. Berawal dari keluhan rektor yang menginginkan perguruannya punya ciri khas. Boer mendedah segala yang dimilikinya. Gayung bersambut. Rektor USR dengan segera mendirikan Prodi (Program Studi) Diplomasi dan Hubungan Luar Negeri. Boer mengajak para dirjen Deplu di Jakarta untuk memberikan masukan dan didatangkan langsung ke Solo. ”Semua pemateri tidak dibayar,” katanya.
Ada enam mata kuliah yang ditambahkanya dalam kurikulum pengajaran. Di antaranya public speaking (kemampuan bicara), negotiation technique (cara bernegoisasi), legal drafting (cara membuat perjanjian), protokoler dan studi kerjasama ekonomi.
Ia melihat mata pelajaran itu relevan dengan topik dunia hari ini. Legal drafting, misalnya. Ia melihat selama ini, Indonesia tidak terlalu detil dalam membuat perjanjian. Ketika sudah ditandatangani, baru rasa kena tipu menguar. Atau public speaking. Menurutnya, diplomasi itu berbicara, agar orang bisa mengetahui pikiran kita. Poin ini ikut menjadi salah satu titik lemah diplomasi Indonesia.
Mahasiswa prodi saat ini sudah berjumlah 200 orang. Rencana dua tahun bantuan Belanda itu akan dinegoisasi ulang menjadi empat atau lima tahun. ”Tanggung. Ingin dilanjutkan menjadi S-1.” katanya, ”Lagi pula, banyak yang pintar tapi tidak mampu.”
Kepintaran calon diplomat ini dibuktikan Nicholas saat berkunjung ke Solo. Para mahasiswa itu mendebat Kadubes Belanda dengan bahasa Inggris. Hal yang tidak disangka-sangka oleh Nicholas. Mereka juga sudah menunjukkan bagaimana berdiplomasi dengan memberi tepukan meriah ketika sang kadubes bicara.
Kemudian, sudah banyak daerah tingkat II yang meminta lulusan prodi bekerja apabila usai kuliah. Namun, tidak itu saja tempat lulusan prodi diplomasi ini bekerja. Pada perusahaan asing, perwakilan asing, LSM, organnisasi internasional, bisa menjadi tempat mengembang ilmu para lulusan.
Gelar dari UI
Banyak yang kaget ia menanamkan pengetahuannya di USR. Sebuah universitas kecil di Solo. Bahkan ada pegawai deplu yang merasa malu hati karena tidak membangun daerah asalnya. Baginya, itu tidak penting. Siapa yang berminat, pasti akan dibantunya. ”Kebetulan USR yang menyambut,” ujar Boer.
Ia pun bekerja tanpa pamrih. Diakuinya, ia hampir tidak mendapat apa-apa dari ide yang didapatnya kecuali hubungan pertemanan yang makin hangat dan luas. ”saya melakukannya karena punya idealisme terhadap negara ini,” katanya. Kali ada air tertahan di sudut matanya.
Kemana pun ia memberi ceramah selalu disambut. Nama ”Boer” menjadi merk tersendiri di mana-mana. Bahkan sampai ke luar negeri. Siapapun yang mengaku punya hubungan dengan Boer di luar negeri akan mendapat layanan yang tidak mengecewakan.
Dedikasi diplomasi yang ditunjukkannya selama ini mendapat ganjaran setimpal. Ia diberi gelar profesor oleh UI atas pengabdiannya dalam bidang pendidikan pada 30 Okober 2009 lalu. Apakah ini termasuk lobi pihak UI agar mendirikan prodi yang sama seperti di USR? ”Entahlah,” jawabnya.
Sebagai orang yang mengaku memiliki idealisme, hal-hal tersebut tidaklah terlau menganggu perasaannya. Siapa saja bisa ’memanfaatkannya” untuk mengembangkan ide yang dipunyainya. Termasuk Sumatra Barat. Minangkabau. Tanah kelahirannya. [*]